Guru Besar bidang Sastra Universitas Negeri Semarang tengah memberikan ceramah dalam Kuliah Umum Metodologi Penelitian Sastra di gedung B. 105, Universitas Pekalongan, Sabtu, 22 Februari 2014.
Guru Besar bidang Sastra Universitas Negeri Semarang tengah memberikan ceramah dalam Kuliah Umum Metodologi Penelitian Sastra di gedung B. 105, Universitas Pekalongan, Sabtu, 22 Februari 2014.

Warta Kampus, Sabtu (22/2/2014)__Sebagai sebuah produk budaya, sastra memiliki posisi penting di dalam tatanan sosial. Keterkaitan antara tatanan sosial dan budaya sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling memengaruhi. Oleh sebab itu, sastra perlu diajarkan kepada masyarakat.

Oleh Moody, hal tersebut pernah disinggung lewat pernyataannya yang mengungkapkan bahwa pengajaran sastra yang baik akan memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan. Setidaknya, hal tersebut dapat diimplementasikan ke dalam kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, pengembangan daya cipta dan rasa, serta pembentukan watak.

Di lain pihak, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. juga pernah mengungkapkan hal senada. Bahwa karya sastra merupakan modal penting bagi usaha-usaha untuk membangun kesadaran masyarakat tentang kebenaran-kebenaran hidup, di samping fungsinya sebagai sarana untuk menghibur (memberikan kegembiraan dan kepuasan batin). Menurut mereka, karya sastra mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi.

Mendasarkan pada pemahaman yang demikian, maka sastra pada dasarnya merupakan sebuah bentuk dunia yang menyeluruh, perihal yang kompleks. Seperti dinyatakan oleh Putu Wijaya, bahwa lingkup sastra mampu menyentuh segala sektor kehidupan karena di setiap sudut kehidupan tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi.

Kendati demikian, bagaimanakah kabar pengajaran sastra pada masa kini? Tampaknya polemik mengenai pengajaran sastra terus berlangsung di tengah-tengah kompleksitas problematika sistem pengajaran di republik ini. Tidak sedikit orang yang secara pesimis menganggap bahwa pengajaran sastra tidak lebih penting dari pengajaran-pengajaran lain yang cenderung bersifat teknis dan praksis. Sastra, dalam pandangan yang demikian, dianggap tidak menawarkan solusi yang langsung dapat diterapkan ke dalam praktik-praktik kehidupan sebagaimana orang belajar mengenai teknik merakit mesin. Oleh pandangan ini pula kemudian sastra dianggap tidak memiliki nilai guna sebab di era kini orang belajar cenderung berorientasi pada dunia kerja, bukan pada kemauan untuk menggali dan meningkatkan potensi diri sebagai kaum berpikir.

Tetapi, tidak sedikit pula orang beranggapan sebaliknya. Bahwa belajar adalah sarana latihan guna memberdayakan kemampuan nalar dan memperkaya batin. Dengan demikian, belajar pada hakikatnya merupakan proses membangun diri untuk memahami hakikat dan memaknai kehidupan, bukan sekadar mencari penghidupan.

Persoalan-persoalan tersebut menjadi topik pembicaraan menarik yang disampaikan Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum, Guru Besar bidang Ilmu Sastra Universitas Negeri Semarang dalam kuliah umum yang diselenggarakan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kemarin (Sabtu, 22/2) di gedung B. 105 kampus Unikal. Di hadapan mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pekalongan, Agus Nuryatin menyampaikan, salah satu tantangan besar yang dihadapi calon guru bahasa Indonesia, juga guru bahasa Indonesia, adalah bagaimana meyakinkan kepada publik bahwa pengajaran sastra merupakan perihal yang perlu dan sangat penting bagi masyarakat.

“Pada dasarnya, keuntungan memelajari sastra sangat banyak. Di antaranya, memperkaya pengetahuan dan mengasah kepekaan sosial. Oleh sebab itu, pengajaran sastra menjadi bagian yang seharusnya tidak termarjinalkan,” ungkapnya.

Menurutnya, perkembangan budaya yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat era kini telah memasuki era yang cenderung memerangkap tiap individu ke dalam pola hidup yang individualistik. Akibatnya, bukan tidak mungkin jika ke depan masyarakat akan kehilangan orientasi dalam kehidupan mereka. Di dalam pola kehidupan yang demikian, lanjutnya, orang akan cenderung meninggalkan aspek moral di dalam menjalani kehidupannya.

“Sekarang ini, kita kerap melihat, seorang koruptor bisa dengan santai tampil di media massa. Bahkan, dalam kondisi yang lebih parah, media kini sudah menjadi ajang kontestasi bagi siapa saja untuk dapat tampil sebagai selebriti. Orang kini berebut menjadi populer. Dampak paling parah dari fenomena ini adalah masyarakat menjadi kehilangan teladan dan keteladanan,” jelasnya.

Untuk alasan itu pula, pengajaran sastra, menurut Guru Besar bidang Ilmu Sastra asal Pemalang ini, dapat memberi arahan yang positif bagi pembentukan keteladanan. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa di dalam karya sastra terdapat teladan-teladan yang bisa diambil oleh siapa saja.

Kendati demikian, dia menegaskan, untuk dapat mencapai tujuan itu dibutuhkan upaya serius dari semua pihak, khususnya para calon guru bahasa Indonesia dan para pakar sastra. Menurut Agus Nuryatin, salah satu upaya tersebut adalah dengan memperkaya penelitian-penelitian sastra yang dielaborasikan dengan pendidikan.

“Kontribusi penelitian sastra terhadap pendidikan masih sangat perlu ditingkatkan. Oleh sebab itu, penelitian sastra yang berorientasi pada upaya-upaya pengembangan pengajaran sastra perlu lebih digiatkan. Salah satu tawaran yang memungkinkan adalah dengan membuat penelitian sastra yang berperspektif pada pembaca, terutama kalangan pelajar,” kata Agus Nuryatin.

Penelitian yang demikian, setidaknya dapat dijadikan sebagai wahana untuk menyosialisasikan sastra kepada kalangan pelajar. Di lain pihak, penelitian yang demikian juga akan memberi pengalaman membaca kepada siswa.

“Harapannya, melalui penelitian yang demikian akan dapat memberi sumbangan bagi pengayaan materi ajar. Dengan begitu, pengajaran sastra, terutama di sekolah, dapat dikembangkan,” tandasnya.

Dia berharap agar prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pekalongan dapat menjadi pionir dalam menggiatkan penelitian sastra yang berperspektif pada upaya peningkatan kualitas pengajaran sastra. “Saya melihat, Unikal dengan prodi PBSI-nya memiliki potensi besar untuk mengembangkan ke arah itu. Apalagi Unikal memiliki cukup modal. Setidaknya, beberapa dosen di prodi PBSI yang saya kenal, memiliki potensi besar untuk dapat menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan pengajaran sastra. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi sastrawan di Pekalongan, lebih khusus lagi yang ada di lingkungan civitas akademika Unikal untuk dapat mewujudkan hal itu,” pungkasnya.