Teatrikalisasi puisi "Sajak Seorang Prajurit" ini ditampilkan oleh Gandewa, salah satu Organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang sastra.
Teatrikalisasi puisi “Sajak Seorang Prajurit” ini ditampilkan oleh Gandewa, salah satu Organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang sastra.

Warta Kampus, Kamis (1 Nov 2012)__ Seketika penonton yang hadir ikut menyemarakkan peringatan bulan bahasa yang berbarengan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda yang digelar di halaman lobi gedung kampus Universitas Pekalongan dibuat terkejut manakala mendengar teriakan dari arah belakang penonton. Teriakan histeris itu datang dari lima orang pemburu yang terluka dengan tombak di tangannya. Perlahan lima orang pemburu itu masuk ke dalam sebuah panggung yang digambarkan sebagai tempat persembunyian seorang mantan prajurit yang meninggalkan medan perang. Di tengah-tengah mereka terdapat sebuah oase yang diyakini sebagai sumber kehidupan. Di sanalah pula mantan prajurit itu bersemayam. Tetapi, keberadaannya tetap saja masih misteri bagi para pemburu itu. Para pemburu hanya dapat mendengar suaranya, tetapi tak mengetahui wujud dari sang mantan prajurit itu. Dengan suara lantang pula, sang mantan prajurit itu menyuarakan kegelisahannya tentang peperangan yang sebenarnya. Hingga pada akhirnya, lima orang pemburu itu mengetahui jika yang mereka buru adalah oase yang ada di tengah-tengah mereka. Lima orang pemburu itupun segera menenggak air oase tetapi bukannya kehidupan yang mereka dapatkan melainkan sebaliknya, kematian.
Itulah gambaran pementasan teatrikalisasi puisi ‘Sajak Seorang Prajurit’ karya Suminto A Sayuti oleh komunitas sastra kampus Universitas Pekalongan Gandewa. Pementasan itu merupakan salah satu persembahan dari mahasiswa PBSI FKIP Unikal dalam acara peringatan bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda yang digelar hari ini di halaman lobi gedung C kampus Universitas Pekalongan. Menurut Fendy Fatyoharjo panglima Gandewa, komunitasnya ingin menyuarakan bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini seperti sebuah peristiwa yang digambarkan dalam pementasan tersebut.
“Sekarang ini, sudah menjadi nyata bahwa orang-orang saling berebut kuasa, berebut segala hal, tetapi mereka lupa mengenai esensi kehidupan itu sendiri. Bahwa hidup harus digelorakan melalui kerja-kerja nyata, bukan sekadar memburu sesuatu yang tak jelas maknanya. Melainkan harus dibarengi pula dengan upaya untuk memahami makna segala hal.” Kata Fendy.
Lebih lanjut, dia mengatakan, “Salah satu kemandegan ini dipengaruhi pula oleh matinya bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa semestinya ditempatkan sebagai alat untuk menghubungkan antar manusia. Sehingga bahasa tidak mati dalam pemaknaannya. Lebih-lebih ketika kita mengetahui bahwa dewasa ini, bahasa rupanya hanya menjadi alat propaganda politik kekuasaan yang kadang justru cenderung menjerumuskan pada retorika yang tak jelas.”
Selain dimeriahkan dengan pementasan teatrikalisasi puisi, peringatan bulan bahasa di Unikal juga semakin semarak ketika dimunculkannya pementasan teater yang dimainkan oleh komunitas teater Sogan. Dalam tampilannya mereka mengetengahkan lunturnya budaya Indonesia yang diakibatkan oleh budaya global.
Dengan konsep yang sederhana, mereka memainkan sebuah sketsa permainan anak tradisional di tengah-tengah panggung yang sederhana itu. Seperti hendak memprotes bahwa kemajuan teknologi saat ini sebagai keunggulan dari globalisasi telah memberangus dunia anak-anak. “Anak-anak zaman sekarang sudah kehilangan dunia mereka. Bukan hanya karena kemajuan teknologi saja melainkan pula karena paradigma orang zaman sekarang yang sudah banyak teracuni oleh globalisme.” Ungkap Endhy juru bicara Teater Sogan.
Menurut Endhy, globalisasi merupakan hal yang memang tidak bisa dihindari akan dampaknya. Tetapi bukan berarti sebagai sebuah bangsa, kita harus kehilangan akar budaya kita sendiri. “Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketidaksadaran masyarakat akan pentingnya arti sebuah kebudayaan. Kita bisa melihat sekarang orang-orang tua kita saat ini lebih cenderung memilih mengurung anak-anak mereka di rumah, belajar dengan porsi yang berlebihan hanya untuk mengejar sebuah nilai prestis yang diukur dari pencapaian nilai ujian. Sehingga, hal ini membuat anak-anak semakin jauh dari dunia mereka. Orang-orang tua lebih cenderung over protect terhadap anak-anak dengan menidakbolehkan anak memiliki dunianya sendiri, yaitu dunia bermain. Demikian pula dengan dunia pendidikan kita saat ini. Anak TK sudah harus belajar calistung (membaca, menulis, dan berhitung. Akibatnya, anak-anak cenderung mengalami depresi.”
Sementara itu, Kustinah ketua panitia penyelenggara peringatan bulan bahasa dan hari Sumpah Pemuda menyatakan, peringatan tersebut sengaja diselenggarakan dengan sederhana. “Bangsa ini sudah seperti jatuh ketimpa tangga. Banyak hal-hal yang memprihatinkan maka dari itu kami sengaja membuat acara peringatan bulan bahasa kali ini dengan acara yang sederhana agar kita sebagai generasi bangsa selalu mengingat bahwa masih ada banyak pekerjaan yang belum dan harus diselesaikan.” Tandasnya.

sumber berita: rimanews.com